Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal di lahan milik PT Timah, yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara hingga Rp271 triliun, belum menyentuh “pemain utama”.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengeklaim dirinya memiliki cukup bukti untuk membuka keterlibatan seorang pengusaha berinisial RBS sebagai terduga official benefit atau penikmat utama keuntungan dari tambang ilegal tersebut.
Dalam perkembangan terbaru, Kejaksaan Agung memeriksa sosok yang diduga RBS yakni Robert Bonosusatya karena dianggap terkait dengan PT Refined Bangka Tin.
Setelah diperiksa selama 13 jam, Robert bungkam ketika ditanya soal keterkaitannya dengan perusahaan itu maupun tersangka Harvey Moeis.
Direktur Penyidik pada Jampidsus Kejagung, Kuntadi, berkata belum ada alat bukti yang cukup untuk mengaitkan hal tersebut.
Sementara itu, LSM lingkungan Walhi Bangka Belitung menilai kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah itu lebih besar dari Rp271 triliun karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem di pesisir dan laut.
Kejaksaan Agung periksa saksi RBS
Penyidik Kejaksaan Agung kembali memeriksa saksi yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha PT Timah yakni Robert Bonosusatya pada Senin (02/04).
Dalam perkara ini, penyidik menduga Robert terkait dengan PT Refined Bangka Tin. Perusahaan ini sebelumnya disebut oleh Kejagung diwakili oleh Harvey Moeis untuk mengakomodasi tambang ilegal di lahan milik PT Timah.
Suami dari aktris Sandra Dewi tersebut dilaporkan menghubungi pejabat PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan memintanya agar menerima kegiatan pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Robert diperiksa penyidik selama 13 jam. Tapi begitu keluar dari gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), dia bungkam saat ditanya soal keterkaitannya dengan PT Refined Bangka Tin maupun Harvey Moeis.
Dia malah meminta wartawan menanyakan hal itu kepada penyidik.
Siapa RBS dan bagaimana rekam jejaknya?
Sebelum Robert Bonosusatya diperiksa Kejagung, LSM Masyarakat Antikorupsi Indonesia telah melayangkan somasi terbuka ke Kejaksaan agar segera menetapkan tersangka terhadap sosok berinisial RBS terkait perkara korupsi tambang timah ilegal di lahan milik PT Timah.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyebut RBS adalah aktor utama dan penikmat uang hasil korupsi yang merugikan perekonomian negara hingga Rp271 triliun.
Sebab klaimnya, RBS merupakan orang yang mendirikan dan mendanai perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi tambang timah.
“RBS adalah terduga official benefit (penikmat utama keuntungan dan pemilik sesungguhnya) dari perusahaan-perusahaan pelaku penambangan timah ilegal,” ujar Boyamin.
“Sehingga semestinya RBS dijerat dengan ketentuan tindak pidana pencucian uang guna merampas seluruh hartanya.”
Boyamin mengaku memiliki dokumen yang bisa membuktikan bahwa RBS merupakan pemilik saham terbesar di PT Refined Bangka Tin, bukan Harvey Moeis seperti yang selama ini digembar-gemborkan.
Kendati, katanya, RBS dan Harvey sesungguhnya sudah menjadi rekan bisnis di perusahaan tambang lainnya di Kalimantan.
“RBS itu bosnya dari bos. Saham dia paling besar. Saya paham RBS orang kayak apa dan sepak terjangnya,” sebut Boyamin kepada BBC News Indonesia.
Itu mengapa Boyamin mendesak Kejaksaan segera menetapkan RBS sebagai tersangka dalam waktu satu bulan. Sebab jika tidak, MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan.
Di sidang praperadilan itu, dia bakal membuka dokumen-dokumen yang menguatkan dugaannya tersebut. Termasuk dokumen perusahaan tambang yang menunjukkan ada hubungan bisnis antara RBS dengan Harvey Moeis di Kalimantan.
Dalam perkara di Bangka Belitung, Boyamin menyebut Harvey Moeis hanya “kaki tangan” RBS.
“Kalau nanti Kejaksaan menilai tidak cukup bukti [menetapkan RBS tersangka], kita akan buka di sidang praperadilan biar fair. Di situ bisa saling memberikan data, berargumen antara saya dan penyidiknya.”
Kata dia, somasi ini dilayangkan supaya pengungkapan kasusnya lebih serius dan menyeret para “pemain utama”.
“Karena saya mengikuti kasus ini, saya pantau dan ingin penyidik menangkap penerima keuntungan yang paling ujung.”
Apa tanggapan Kejaksaan?
Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, mengatakan pemeriksaan terhadap RBS dilakukan bukan atas desakan siapapun, tetapi untuk kepentingan penyidik.
Namun demikian berdasarkan hasil pemeriksaan RBS yang berlangsung kemarin, penyidik katanya masih mendalami kaitan Robert dengan PT Refined Bangka Tin.
Meski Robert disebut sebagai pemilik perusahaan, akan tetapi yang bersangkutan sama sekali tidak tercatat sebagai komisaris direksi di dalamnya.
“Sepanjang tidak ada alat bukti yang cukup, tentu saja kita tidak akan [mengaitkannya] demikian. Yang jelas kami melihat ada urgensi yang perlu kami klarifikasi kepada yang bersangkutan untuk membuat terang peristiwa pidana ini,” ujar Kuntadi seperti dilansir Kompas.id.
Sejauh ini, penyidik Kejagung telah memeriksa 172 orang saksi untuk mendalami kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di tambang milik PT Timah tahun 2015-2022.
Penyidik juga telah menetapkan 15 orang tersangka dugaan korupsi serta satu orang tersangka kasus perintangan penyidikan dalam perkara yang berkaitan dengan tata kelola tambang timah tersebut.
Adapun crazy rich Pantai Indak Kapuk, Helena Lim, ditetapkan sebagai tersangka ke-15 atas perannya sebagai Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE).
Sehari setelahnya, pengusaha Harvey Moeis menjadi tersangka ke-16 dalam kasus tersebut.
Apa peran Harvey Moeis?
Kejaksaan menyebut Harvey Moeis merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin sekitar tahun 2018-2019.
Harvey disebut menghubungi Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) alias Riza yang sudah menjadi tersangka, dengan maksud mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Dalam beberapa kali komunikasi, keduanya sepakat untuk bekerja sama dalam kegiatan penambangan ilegal yang “disamarkan” lewat sewa-menyewa peralatan pemrosesan timah.
Setelah itu Harvey menghubungi beberapa perusahaan pengolahan timah atau smelter agar ikut serta dalam pemrosesan timah.
“HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP (Venus Inti Perkasa), PT SPS, dan PT TIN (Tinindo Inter Nusa),” jelas Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi.
Harvey kemudian diduga meminta sejumlah perusahaan pengelolaan timah untuk menyetorkan sebagian keuntungan dari kegiatan penambangan timah ilegal dengan dalih sebagai pembayaran dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Uang itu dikirim lewat PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang dimiliki Helena Lim.
Menurut Kuntadi, Harvey tidak tercantum sebagai pengurus di PT Refined Bangka Tin. Dia juga tidak merinci mengenai pengurus ataupun pemilik perusahaan tersebut.
Atas perbuatan tersebut, penyidik menjerat Harvey dengan sangkaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Harvey langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Berapa kerugian perekonomian negara dari tambang ilegal?
Kejaksaan Agung menyebut kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah mencapai Rp271 triliun.
Kerugian perekonomian itu terkait dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan di kawasan hutan dan non-hutan.
Termasuk juga kerugian ekonomi lingkungan dan biaya pemulihan lingkungan.
“Bekas area tambang yang seharusnya dipulihkan ternyata sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja sehingga meninggalkan lubang yang begitu besar,” ujar Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi.
Gara-gara lubang tambang, 15 orang meninggal
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, meminta Kejaksaan Agung agar melengkapi kajiannya tentang kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah.
Sebab hitungan kerugian perekonomian negara yang disebut mencapai Rp271 triliun belum sepenuhnya tuntas.
Menurutnya, kerugian perekonomian negara berupa kerusakan lingkungan tak hanya terjadi di kawasan hutan dan non-hutan. Tapi juga, di wilayah pesisir dan laut.
“Kami mendorong negara juga mengakumulasi kerugian di wilayah pesisir dan laut, karena lanskap Bangka Belitung tidak bisa dipisahkan dari daratan dan lautan. Ruang hidup masyarakat Babel di wilayah laut dan darat,” ujar Ahmad Subhan Hafiz kepada BBC News Indonesia, Senin (01/04).
“Dan Walhi melihat angka Rp271 triliun itu bisa lebih besar karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta meninggalnya belasan orang.”
Merujuk pada data Walhi Bangka Belitung, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai satu juta hektare lebih, dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektare.
Dari angka itu, hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah. Selebihnya dikelola ratusan perusahaan.
Sialnya, menurut Walhi, terjadi deforestasi besar-besaran akibat pertambangan timah di kawasan hutan lantaran mayoritas perusahaan yang mengantongi izin maupun tidak, tak kunjung melakukan reklamasi atau pemulihan.
Akibatnya, 12.000 lebih lubang galian tambang timah dibiarkan menganga.
“Perkiraan kami ada 12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai 2023,” jelasnya.
“Kalau dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan 15.579 hektare.”
Gara-gara lubang tambang itu, tercatat ada 21 kasus tenggelam.
Dari 15 korban yang meninggal dunia, 12 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
Selain menyebabkan korban meninggal, lubang-lubang tambang itu juga memicu sumber penyakit baru – entah menjadi tempat sarang nyamuk atau lokasi berbahaya lantaran memiliki tingkat radiasi cukup tinggi.
Dan, yang tak kalah mengerikan katanya, menimbulkan bencana kekeringan.
“Pada tahun 2023 kemarin kami mengalami bencana kekeringan. Sumber air di Bangka Belitung mengalami krisis. Masyarakat akhirnya mengambil sumber air dari lubang-lubang tambang dengan kualitas air yang berbahaya.”
Akibat tambang, ribuan hektare terumbu karang mati
Ahmad Subhan berkata, aktivitas penambangan timah tak hanya berlangsung di kawasan hutan. Namun merambah ke wilayah pesisir dan laut lantaran “di darat sudah tidak mendukung lagi alias habis”.
Padahal di tengah kerusakan ekosistem terestrial yang terus terjadi, harapan masyarakat bertumpu pada lautan di Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya sekitar 6,5 juta hektare.
Akan tetapi, kata dia, kapal-kapal ponton isap produksi atau TI Rajuk yang dipakai untuk penambangan timah ilegal memenuhi pesisir Babel.
“Masalahnya adalah IUP di wilayah laut Babel sangat luas dan ini jadi problem baru karena tata ruang di sini lebih banyak mengakomodir tambang di laut,” ungkapnya.
Walhi Bangka Belitung menduga kuat timah yang ditambang dari wilayah pesisir dan laut ditampung oleh perusahaan pengolahan atau smelter ilegal yang kini ditangani Kejaksaan Agung.
Karena mustahil hasil tambang timah ilegal itu diserahkan pada perusahaan smelter berizin.
Atas dasar itulah, dia meminta Kejaksaan Agung turut melacak aliran timah ilegal dari hulu hingga ke hilirnya.
“Harus dilacak kemana aliran timah tadi, apakah PT Timah terlibat menampung timah ilegal dari pesisir?”
Dalam aktivitasnya, kapal-kapal ponton isap produksi ini juga memicu konflik dengan nelayan. Pasalnya hasil tangkapan para nelayan makin menurun akibat pencemaran limbah tambang.
Sebab tak cuma mencemari, penambangan timah yang dilakukan dengan cara menyedot pasir laut membuat terumbu karang hancur dan mati.
“Dalam beberapa kasus limbah tambang bisa terbawa sejauh 6-7 mil. Limbah tambang itu berupa oli dan pasir yang tak terpakai dibuang lagi ke laut.”
Catatan Walhi Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Babel pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektare. Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal 12.474 hektare.
Itu artinya, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 hektare dalam dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektare.
Imbas lain dari tambang timah di pesisir dan laut, juga menambah konflik buaya dengan manusia.
Sepanjang tahun 2021 sampai 2023, klaim Walhi, ada 25 kasus konflik buaya dan manusia yang menyebabkan 14 orang meninggal dan 12 lainnya luka-luka.
Walhi: Pemerintah harus moratorium tambang di Babel
Walhi Bangka Belitung memprediksi dalam lima hingga 10 tahun mendatang Babel berpotensi mengalami krisis ekologi.
Sebab data tampung dan daya dukung lingkungan di Babel sudah tidak bisa lagi dibebani oleh izin-izin industri ekstraktif skala besar seperti tambang timah, tambang pasir kuarsa, dan perkebunan kelapa sawit.
Dengan begitu, Walhi Babel mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru baik di darat maupun laut.
Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal.
Pengamatannya sejauh ini banyak wilayah adat yang hilang -baik laut dan darat- akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri dan mengeyampingkan perspektif masyarakat lokal dalam mengelola alam mereka.
“Yang terpenting juga, izin-izin yang sudah ada direview kembali, dievaluasi karena merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat serta memicu konflik.”
sumber bbc news indonesia
-