MUSI BANYUASIN, – Dalam usia yang ke-68 tahun, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) telah melalui banyak lika-liku perjalanan, baik dalam pembangunan maupun dalam hal politik seharusnya usia ini menjadi cerminan kematangan, di mana fondasi bagi kesejahteraan rakyat semakin kokoh. Namun, di balik perjalanan panjang itu, Muba tak luput dari catatan kelam yang terus mencederai semangat demokrasi. Kepemimpinan di Muba berulang kali ternoda oleh kasus korupsi yang memukul kepercayaan rakyat terhadap para pemimpin yang mereka pilih.
Sepanjang sejarah Pilkada langsung di Muba, ironi terbesar adalah kenyataan bahwa setiap Bupati yang terpilih melalui mekanisme demokrasi justru berakhir di balik jeruji besi karena kasus korupsi. Pemimpin yang seharusnya menjadi simbol dari pilihan rakyat dan harapan perubahan, justru mengkhianati amanah dengan terlibat dalam praktik korupsi. Misalnya, Pahri Azhari (Alm.), Bupati Muba periode 2007-2011 dan 2012-2017, pada tahun 2015 ditangkap dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama belasan anggota DPRD Muba. Pahri bersama istrinya kedapatan menyuap miliaran rupiah kepada anggota legislatif demi memuluskan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) tahunan. Dalam kasus ini, Pahri divonis 3 tahun penjara.
Tidak berhenti di situ, penerusnya, Dodi Reza Alex, yang menjabat sebagai Bupati Muba periode 2017-2022, juga tersandung kasus korupsi. Pada tahun 2021, Dodi tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK setelah ketahuan menerima suap dari kontraktor swasta terkait proyek pembangunan yang didanai oleh APBD. Atas perbuatannya, Dodi dijatuhi hukuman 6,7 tahun penjara.
Tragisnya, bahkan bukan hanya Pahri dan Dodi, Alex Noerdin, mantan Bupati Muba periode 2001-2008 yang kemudian menjadi Gubernur Sumatera Selatan, juga ikut terseret dalam kasus korupsi. Meski sudah tidak lagi menjabat di Muba, Alex ditahan oleh kejaksaan atas keterlibatannya dalam kasus korupsi dana hibah pembangunan Masjid Sriwijaya dan penjualan gas alam Blok Migas di wilayah Muba oleh Perusda PDPDE. Alex Noerdin divonis 9 tahun penjara, memperpanjang daftar hitam kepemimpinan Muba yang terjerat korupsi.
Ketika “Suara Rakyat, Suara Tuhan” Tak Lagi Bermakna
Ungkapan “suara rakyat adalah suara Tuhan” menggambarkan idealisme demokrasi, di mana pemimpin yang terpilih oleh mayoritas rakyat diyakini sebagai pilihan yang terbaik dan diberkati. Dalam konteks Pilkada, siapa yang paling banyak dicoblos, itulah yang dianggap mampu membawa kemajuan. Namun, kasus demi kasus di Muba menguji kebenaran ungkapan tersebut. Bagaimana mungkin, dalam sistem demokrasi yang katanya memuliakan “suara rakyat”, para pemimpin yang terpilih justru menjadi pelaku korupsi yang mengkhianati rakyat?
Kenyataan pahit ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah pemimpin yang paling banyak dicoblos benar-benar yang terbaik, atau hanya yang paling pandai memainkan permainan politik? Popularitas dan janji-janji kampanye yang memikat sering kali mengaburkan kenyataan, dan pada akhirnya, pemimpin yang terpilih lebih sering dipilih karena citra yang dibangun dengan baik, bukan karena integritas yang mereka miliki.
Dalam kasus Pahri Azhari, Dodi Reza, dan Alex Noerdin, kita melihat bagaimana para pemimpin ini awalnya dipilih oleh rakyat, namun kemudian terjebak dalam praktik korupsi yang mengkhianati harapan masyarakat Muba. Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa demokrasi kita sering kali dikendalikan oleh uang dan kekuasaan, di mana pemimpin lebih sibuk dengan memperkuat posisi mereka daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pilkada di Muba, seperti di banyak daerah lain, kerap kali dikendalikan oleh politik uang. Dalam banyak kasus, kemenangan dalam pilkada sering kali bukan soal siapa yang memiliki gagasan terbaik, tetapi siapa yang memiliki dana kampanye paling besar. Proses demokrasi yang seharusnya murni menjadi ajang partisipasi rakyat untuk memilih pemimpin yang layak justru berubah menjadi transaksi politik, di mana suara rakyat dibeli dengan uang.
Di Muba, politik uang kerap menjadi awal dari korupsi yang lebih besar. Pemimpin yang telah menghabiskan dana besar untuk memenangkan pilkada sering kali merasa harus “mengembalikan modal” setelah terpilih. Ketika tekanan finansial ini menjadi begitu besar, penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan APBD menjadi langkah yang diambil untuk menutupi biaya politik. Ini adalah siklus yang berbahaya dan menghancurkan demokrasi kita dari dalam.
Kasus-kasus yang melibatkan Pahri Azhari, Dodi Reza, dan Alex Noerdin adalah bukti bahwa biaya politik yang mahal sering kali mendorong pemimpin untuk terjebak dalam korupsi. Pemimpin yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat malah fokus pada upaya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban.
Pilkada Muba 2024: Momentum untuk Perubahan
Dengan Pilkada Muba 2024 di depan mata, masyarakat harus melihat ini sebagai kesempatan untuk memutus siklus korupsi yang telah berulang kali mencederai Muba. Usia Kabupaten Muba yang sudah mencapai 68 tahun seharusnya mencerminkan kematangan dalam memilih pemimpin. Masyarakat Muba tidak bisa lagi terjebak dalam politik uang atau janji-janji kampanye yang hampa. Pemimpin yang hanya memikat di permukaan tanpa integritas nyata harus ditolak.
Pada Pilkada Muba kali ini, dua pasangan calon (paslon) yang bertarung telah menarik perhatian masyarakat. Paslon nomor 1 adalah Lucianty dan Syaparudin, seorang pengusaha yang juga istri dari almarhum Pahri Azhari, mantan Bupati Muba. Meski Lucianty pernah terjerat kasus hukum sebagai mantan terpidana bersama suaminya, secara konstitusional, ia memiliki hak penuh untuk mencalonkan diri. Kehadirannya di Pilkada kali ini menyoroti bahwa masyarakat harus menilai setiap calon tidak hanya dari masa lalu, tetapi juga dari niat dan visi mereka untuk membawa perubahan ke depan. Lucianty, dengan latar belakang bisnis dan keterlibatannya dalam politik lokal, berharap dapat membawa perspektif baru bagi Muba yang lebih baik.
Di sisi lain, paslon nomor 2 adalah Toha Tohet yang berpasangan dengan Rohman. Toha merupakan pengusaha lokal sukses yang telah dikenal dalam industri angkat angkut minyak mentah dari sumur-sumur tua, sebuah sektor yang booming dan permasalahan sumur illegal drilling yang kerap meledak menelan korban di Muba dalam 10 tahun terakhir. Latar belakangnya sebagai pengusaha yang tumbuh dari akar Muba memberikannya keunggulan sebagai figur yang memahami dinamika ekonomi dan sosial di daerah tersebut. Toha membawa janji untuk memperkuat ekonomi daerah dengan pendekatan bisnis yang ia pahami dari pengalamannya di lapangan.
Dengan kedua kandidat ini, masyarakat Muba dihadapkan pada pilihan yang krusial. Demokrasi hanya akan berfungsi jika rakyat berperan aktif dalam memastikan bahwa suara mereka bukanlah barang yang diperjualbelikan, tetapi cerminan dari harapan yang tulus untuk perubahan. Masyarakat Muba harus memilih pemimpin yang benar-benar memiliki rekam jejak yang jelas, yang tidak hanya bicara tetapi juga bertindak. Ini adalah momen untuk meninggalkan bayang-bayang politik transaksional dan merangkul kepemimpinan yang mengutamakan komitmen nyata untuk memajukan daerah.
Pada ulang tahun yang ke-68 ini, Kabupaten Muba harus merefleksikan kembali makna “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Ungkapan ini tidak boleh lagi menjadi sekadar klise yang terdistorsi oleh praktik politik kotor. Dalam Pilkada 2024 nanti, suara rakyat harus benar-benar mencerminkan kehendak yang luhur, bukan sekadar ekspresi popularitas atau uang yang beredar selama masa kampanye.
Di usia ke-68 ini, Muba masih memiliki potensi besar untuk bangkit dari bayang-bayang korupsi. Pilkada 2024 harus menjadi momen di mana masyarakat Muba belajar dari masa lalu dan memilih dengan lebih bijak. Hanya dengan memilih pemimpin yang memiliki integritas, kejujuran dan berkomitmen, kita bisa memulihkan kepercayaan terhadap demokrasi, dan menjadikan Muba daerah yang lebih maju, lebih bersih, dan lebih sejahtera.
Saatnya kita semua, rakyat dan calon pemimpin, mengambil langkah bersama untuk memastikan bahwa “suara rakyat” benar-benar menjadi suara yang akan membawa perubahan positif bagi masa depan Muba.
Musi Banyuasin, Minggu, (29/09/2024)
Penulis : Amrullah
Mantan Ketua IMMUBA
Ketua Relawan BARAPAT